Unggul Tanpa Mencela

Pemandangan yang terus kita lihat baik di TV atau media massa di mana ada kelompok mengecam kelompok lain dengan melakukan penyebutan yang menyakitkan. Haruskah menjadi unggul dengan mencela?
Ini adalah kisah tentang salah seorang sahabat pilihan. Abdullah Ibnu Mas’ud radhiiallahu anhu, namanya. Seorang sahabat Rasulullah Salallahu alaihi wa Sallam yang dijuluki “Peti Rahasia” karena beliau menjadi tempat Rasulullah menumpahkan keluhan dan mempercayakan rahasianya. Abdullah Ibnu Mas’ud adalah laki-laki yang ukuran tubuhnya seumpama tubuh burung merpati, kurus dan pendek, hingga tinggi badannya tidak akan berapa bedanya dengan orang yang sedang duduk.
Kedua betisnya kecil dan kempis, yang tampak ketika ia memanjat dan memetik dahan pohon ara untuk digunakan sikat Rasulullah SAW. Para sahabat lalu menertawakannya ketika melihat kedua betisnya itu. Maka segera bersabdalah Rasulullah Saw: “Tuan-tuan menertawakan betis Ibnu Mas’ud, keduanya di sisi Allah lebih berat timbangannya dari gunung Uhud !”


Kebiasaan Mencela
Banyak sekali sosok-sosok seperti Abdullah Ibnu Mas’ud di sekeliling kita, yang membuat kita – seringkali – tak dapat menahan diri untuk menertawakan, atau langsung mengucapkan sesuatu yang tidak layak untuk diucapkan (celaan). Tertawaan yang sifatnya celaan atau kata-kata celaan biasanya spontan terucap ketika melihat kekurangan orang lain, seperti tidak ada rem yang mampu mengendalikannya. Celaan itu seakan membutakan mata kita bahwa orang yang kita cela itu mungkin juga memiliki kelebihan, yang tidak kita miliki. Seperti halnya Ibnu Mas’ud, beliau ditertawakan karena betisnya kecil dan kempes, tetapi beliau adalah sahabat yang disenangi Rasulullah karena bacaan Qurannya. Bukan itu saja, Ibnu Mas’ud juga dipuji karena keunggulannya dalam ilmu fiqih.
Tidak sedikit pula celaan yang terlontar hanya berawal dari rasa iri dan dengki. Dalam dunia bisnis yang penuh persaingan misalnya, seakan-akan menjadi hal yang wajar jika diwarnai dengan celaan. Jika ingin unggul, aka mencela lawan, membeberkan kekurangan-kekurangan lawan seringkali menjadi pilihan untuk meraih simpati massa, dan akhirnya untuk meraih kesuksesan.
Bukan di dunia bisnis saja. Dalam kehidupan bertetangga, berpolitik, atau bahkan sesama organisasi Islam pun, tidak luput dari intrik-intrik berupa saling mencela.
Bersaing dengan Sehat
Kehidupan ini memang tidak luput dari persaingan. Allah sendiri menyatakan dalam firman-Nya: “Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblatnya yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam berbuat kebaikan. Dimana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semua. Sesungguhnya Allah laha kuasa atas segala sesuatu”. (Al-Baqarah: 148)
Jadi, Allah memerintahkan kita berlomba-lomba berbuat kebaikan. Tentu saja perlombaan menuju kebaikan i tu juga harus dilakukan secara baik pula. Tidak boleh sebuah niat baik diwujudkan dengan cara tercela. Apalagi jika harus saling mencela dan menjatuhkan sesama saudara Muslim.
Saad bin Malik berkata, Rasulullah Saw bersabda, “Menghina orang Muslim adalah suatu kefasikan.” Lebih-lebih jika celaan itu terlontar sebagai bentuk kesombongan, maka Allah berfirman, “ Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan dirinya di muka bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda kekuasaan-Ku”. ( Al A’raf: 146)
Rasulullah pun bersabda, “Neraka berkata, ‘Aku diistimewakan karena berpenghuni orang-orang yang sombong” (Riwayat Bukhari-Muslim ).
Ada Kalanya Harus Bersinergi
Abi Thalib adalah paman Nabi yang sampai akhir hayatnya tetap dalam kekafirannya, padahal tak kurang-kurang Nabi berdoa dan mendakwahi beliau agar turut serta menikmati indahnya iman Islam. Dalam perjalanannya, Nabi senantiasa berbuat baik kepada paman beliau, padahal paman beliau itu statusnya dalah kafir. Namun Nabi tidak pernah mencela beliau, bahkan beliau menjaga hubungan baik itu karena walaupun Abi Thalib tidak beriman, Abi Thalib menjadikan dirinya jaminan agar dakwah keponakannya itu bisa terus eksis di Mekah.
Memang tidak ada gunanya mencela. Karena boleh jadi, suatu saat kita harus bersinergi. Dulu, Nabi pernah melakukan kerjasama dengan kaum Yahudi ketika baru saja sampai di Madinah. Selanjutnya kita akan mengenang peristiwa ini sebagai Piagam Madinah.
Perjanjian ini merupakan kerjasama antara umat Islam dengan orang Yahudi untuk saling membantu, membela, dan mempertahankan Madinah dari serangan atau gangguan musuh. Walaupun akhirnya, perjanjian ini dikhianati juga oleh orang Yahudi.
Beberapa saat lalu, beberapa lembaga bersinergi untuk menyampaikan memorandum kepada PBB terkait dengan kasus pemuatan gambar kartun yang melecehkan Nabi Muhammad Saw dan umat Islam.
Terlepas dari kebencian umat Yahudi kepada umat Islam. Maka dapat kita bayangkan, jika umat Islam – terutama organisasi Islam- yang dengan keanekaragaman manhaj dakwah itu bersatu dan saling melengkapi satu sama lain. Bukankah setiap kita ummat Islam menginginkan tegaknya kalimat Allah di muka bumi dan agar kemuliaan Islam kembali. Maka patutkah kita, sesama ummat Islam saling mencela, menghina, hanya untuk mencari kemuliaan yang sifatnya dunia saja.
Meraih Keunggulan Bersama
Bersaing boleh saja, terutama sebagai upaya untuk menyemangati agar setiap kita berbuat yang terbaik. Tapi untuk menjadi unggul tidak perlu saling mencela guna menjatuhkan lawan, karena boleh jadi suatu saat kita arus bersinergi.
Salah satu cara untuk meraih sukses adalah dengan bersinergi. Dengan sinergi banyak potensi-potensi yang mula-mula tercecer kemudian dioptimalkan sedemikian rupa, sehingga kesuksesan lebih mudah dicapai. Islam diciptakan sebagai rahmatan lil alamin. Hal ini tidak terlepas dari amanat penciptaan manusia itu sendiri, yaitu sebagai khalifah. Sebagai khalifah, manusia harus bekerja sama untuk menegakkan kepemimpinan yang diatur dengan Al-Qur’an, sehingga akan tersebarlah kasih sayang Allah di muka bumi.
Nah, jika Allah saja menghendaki rahmat-Nya tersebar ke seluruh alam dengan cara yang rahman dan rahim, maka pantaskah kita yang sama-sama Muslim, yang sama-sama ingin ambil bagian dalam perjuangan itu, saling cela, saling gontok-gontokkan?
Pesan Allah mengingatkan kita dipenghujung tulisan ini:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita mengolok-ngolokkan) wanita yang lain (karena) boleh jadi wanita-wanita (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari wanita (yang mengolok-olokkan), dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri, dan janganlah kamu manggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.
Seburuk-buruk panggilan ialah ( panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al Hujurat: 11 ). Na’udzubillah. [Amin S/Hidayatullah]